Bunga bank dalam Islam setengah halal setengah haram. Sepintas judul artikel ini kelihatan aneh, karena dalam hukum Islam tidak ada celah setengah halal dan setengah haram. Halal, haram, mubah, dan seterusnya. Karena kalimat judul tersebut bersifat ambigu dan samar, maka pertimbangan dalam opini ini pastinya keluar dari kaidah hukum fiqih yang harusnya sudah jelas.
Opini bunga bank dalam Islam ini muncul hasil dari akumulasi dan carut marut kondisi perekonomian dan penetapan hukum (Islam) dalam konteks ke-Indonesia-an. Sehingga, penulise bepikir bahwa status hukumnya bunga bank apakah halal atau haram, menjadi dua pilihan yang sulit.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan fatwa tahun 2003, telah menetapkan bahwa hukum bunga bank dalam Islam adalah haram. Fatwa ini tentu memberi rasa tidak nyaman bagi banyak pihak terutama pelaku perbankan, pelaku ekonomi global, apalagi penikmat bunga bank. Dilematis, satu sisi haram (jika mengikuti fatwa MUI). Sisi lain, kita terjebak kebutuhan mendasar dan asas manfaat dari nilai mata uang yang saya akan jelaskan pada opini ini.
Banyak sekali artikel tentang hukum bunga bank dalam Islam, dan mayoritas menghukuminya haram. Dari argumen terminologi, riba dalam berbagai kamus berarti al-Fadhlu wa al-Ziyadah (tambahan) dalam satu akad jual beli atau pinjaman. Fix, semua tambahan dalam satu akad jual beli atau pinjaman dihukumi haram.
Umum terjadi, konsumen meminjam uang dengan jumlah tertentu dan batas waktu tertentu, dan dikembalikan dengan jumlah melebihi dari jumlah yang dipinjam. Jika berdasar dari definisi kamus “al-Qamus al-Fiqhiy,” hal ini termasuk riba nasi’ah, yaitu tambahan yang dipersyaratkan oleh pemberi piutang dari orang yang berutang sebagai ganti penundaan (pembayaran).
Bank konvensional memberikan pinjaman dalam berbagai bentuk jasa, seperti giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan lain-lain, yang menetapkan kelebihan dari pokok pinjaman. Kelebihan itu ditafsirkan dan dimaknai bermacam-macam dan bukan hanya bunga yang dihukumi riba, tapi juga sebagai manfaat sewa atau harga dari nilai uang.
Contoh, seorang PNS meminjam uang di bank konvensional Rp. 100.000.000 dengan masa pinjaman 10 tahun. Pembayaran diambil dari gaji bulanan sebesar 60% dari total gaji atau penghasilan. Misalnya, dalam 10 tahun atau masa jatuh tempo, total pembayaran mencapai Rp. 217.000.000, maka kelebihan Rp. 117.000.000 menurut definisi tadi termasuk riba nasi’ah.
Dalil pelarangan riba dapat dilihat dalam nash al-Quran dan Hadis. Ayat yang saya angkat riba untuk contoh kasus di atas, adalah QS. al-Baqarah ayat 278-279;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Demikian pula hadis; dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, bapakku menceritakan kepada kami bahwa ia melaksanakan haji wada bersama Rasulullah saw. (Ketika berkhutbah, Nabi memulai dengan) memuji Allah lalu beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian beliau berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya semua riba pada masa jahiliyyah dibatalkan. Bagi kalian (hanya) uang pokok kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi …”
Dari dua landasan dalil tersebut, tanpa kajian sekalipun, akan dipahami bahwa bunga bank dalam Islam hukumnya haram. Namun demikian tanpa berniat mengaburkan penafsiran ulama, ada catatan kecil yang layak dijadikan bahan pertimbangan. Ada poin penting sehingga fatwa haram bunga bank itu berbeda dengan kondisi dan sistem ekonomi di masa lalu, jaman ulama salaf misalnya.
Pada masa Nabi saw dan ulama salaf, belum ada istilah inflasi, karena sistem ekonomi memang berbeda dengan sekarang terutama di Indonesia. Inflasi kira-kira bermakna perubahan nilai mata uang akibat ketidakstabilan ekonomi, bisa karena barang lebih banyak dari uang yang beredar atau uang beredar lebih banyak.
Mata uang yang dipergunakan pada masa itu adalah mata uang yang stabil, yaitu dinar dan dirham. Artinya, 1000 dirham tahun 2013, nilainya sama dengan 1000 dirham tahun 2030. Harga air Zam-zam tahun 80-an sama dengan harga air zam-zam tahun 2019. dst. Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman, tidak memberatkan satu pihak dan menggambarkan keadilan. Tidak ada pihak pemberi hutang atau pengutang yang teraniaya seperti akhir ayat dan hadis di atas.
Sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi di Indonesia. Bukti adanya inflasi bisa dilihat dari kenaikan harga BBM, kenaikan gaji PNS, fluktuasi IHSG dll.
Contoh; Rp. 100.000 hari ini, cukup untuk membeli kerupuk 100 bungkus. Namun, nilai 100.000 tahun 2025 akan menurun. Bisa jadi hanya bisa mendapatkan 10 bungkus kerupuk. Artinya, jika sistem penambahan (ziyadah) yang kemudian divonis sebagai kategori riba tidak diberlakukan, maka peminjam dengan masa pinjaman 10 tahun akan untung, karena nilainya tidak sama saat pinjaman dilakukan. Dan pemberi pinjaman dipastikan teraniaya.
Hal ini tidak luput dari bahtera ilmu ulama sekelas Ibnu Taimiyah, yang hidup dengan mata uang dinar dan dirham (w. 728 H/1328 M), dan beliau menyadari hal ini. Ia mengakui bahwa mata uang pada masanya tersebut bukanlah maksud dan tujuan akhir. Ia tidak lebih dari sekadar fasilitas dalam transaksi manusia.
Bahkan jauh sebelumnya, Imam Malik telah menyatakan bahwa seandainya manusia sepakat menggunakan kulit binatang sebagai mata uang, maka ia akan menghukuminya sama sebagaimana hukum dinar dan dirham.
Bagaimana hukum bunga bank dalam Islam? Menjadi pertanyaan penutup dalam opini saya ini. Pertama; kita harus adil menilai bahwa kelebihan akibat pinjaman sebagai akibat inflasi dan terkait dengan skala besar yaitu sistem ekonomi Negara. Ringkasnya, jika tak ada ziyadah atau tambahan dari pinjaman, dipastikan peminjam akan untung dan pemberi pinjaman akan teraniaya.
Mengingkari hal itu, berarti kita secara sadar, mengingkari kenaikan harga, perubahan mata uang, kenaikan gaji PNS (bagi PNS) dll, yang semua dipengaruhi oleh inflasi. Implikasinya jelas, pasti salah satu dari peminjam atau pemberi pinjaman akan teraniaya. Dan inilah tujuan akhir haramnya riba yang harus dihindari berdasarkan ayat di atas.
Kedua: jika inflasi menjadi alasan faktor pertimbangan dalam pembayaran hutang, maka hendaknya dilakukan secara adil, konsisten dan akurat. Karena selain memperhitungkan kondisi inflasi, hendaknya memperhitungkan kondisi deflasi.
Inilah titik perbedaan antara bank konvensional dengan rentenir. Bank konvensional memperhitungkan perubahan nilai mata uang akibat inflasi dengan perhitungan ekonomi secara akurat, sedangkan rentenir tidak, tapi hanya berdasarkan perkiraan belaka.
Ketiga: meminjam pesan pakar tafsir Quraish Shihab; “Jika kamu berada dalam pusaran air sungai yang deras, tidak usah melawan arus, karena hanya akan menghabiskan tenagamu. Mengalirlah, dan berusaha menancapkan kakimu ke dasar sungai, atau menggapai pegangan sembari mengumpulkan tenaga.” Demikian perumpamaan yang harus dilakukan ketika seorang hamba dalam posisi terdesak atau terpaksa.
Hukum bunga bank dalam Islam jika dilihat konteks ke-Indonesia-an, posisinya sangat dilematis. Menghindari agar tidak ada yang teraniaya baik peminjam dan pemberi pinjaman berarti mutlak meniscayakan tambahan. Sedangkan menghindari tambahan dan dikaliam sebagai riba berimplikasi sebaliknya, kecuali Negara keluar dan berganti sistem ekonomi.
Kesimpulan hukum bunga bank dalam Islam adalah setengah halal setengah haram. Tapi hanya di Indonesia dan Negara yang terpengaruh inflasi. Kesimpulan ini tentu keliru jika dilihat dalam bahasan fikih, karena jelas dalam fikih, hukum bungan bank adalah haram.