Syahdan, seorang pemuda pergi merantau ke pulau Borneo mengadu nasib, mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian. Sesampai di sana, pemuda itu mengisi perutnya yang keroncongan di sebuah warung coto Makassar. Pemuda itu berpikir yang punya pasti berasal dari Makassar. Hitung-hitung belanja ke usaha sekampung, pikirnya.
Warung itu laris manis, sehingga pemuda itu harus antri. Sambil makan pemuda itu berpikir, “Hebat juga pemilik warung ini. Selain dagangannya laris, kampungnya juga pasti ikut terkenal. Sebaiknya saya membuka warung Coto juga. Saya juga sekaligus akan membuat kampungku terkenal.” Ujar pemuda itu dalam hati.
Esoknya, mulailah pemuda itu mengontrak tempat dan membuka warung coto, namamya Coto Keera.[note]Keera adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Indonesia. Keera terdiri dari beberapa desa dan kelurahan yaitu: Desa Ciromanie Kelurahan Ballaere Desa Paojepe Desa Awota Desa Awo Desa Inrello Desa Lalliseng Desa Labawang Desa Pattirolokka Desa Keera[/note] Ternyata, pemuda tersebut berasal dari Keera. Pemuda itu punya niat mulia, dia ingin membuat kampungnya lebih dikenal. Sisi lain, penduduk pulau Borneo yang kemungkinan berasal dari Keera akan bersimpati dan singgah di warung itu. Sekali menyelam, minum air.
Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, warung Coto Keera pemuda ini sepi tak ada pengunjung. Bahkan pemuda ini merasa ada yang aneh. Setiap yang lewat menatap sinis, dan heran ke dia. Lama pemuda ini tersadar, ternyata, penduduk sekitar membaca Keera dengan Kera. Coto Keera dibaca Coto Kera. Coto kera tentu maknanya coto yang bahan dagingnya dari daging kera. Pantas sepi. Ini berarti sekali menyelam, tenggelam.
Kisah fiksi ini mirip dengan seorang penjual nasi kuning asal Batu-Batu, yang menamakan warung usahanya “Nasi Kuning Batu-Batu.”[note]Batu-Batu adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Mario Riawa, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Indonesia[/note] Orang mengira nasi kuning yang dijual dicampur dengan batu. Mirip juga dengan kisah seorang tukang cabut gigi asal Pasangkayu, yang menamakan tempat usahanya, “Cabut Gigi Pasangkayu.”[note]Kabupaten Pasangkayu adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Barat, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pasangkayu. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang terletak 719 km ke sebelah utara dari Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan[/note] Orang mengira setelah gigi dicabut akan dipasangi kayu.
***
Setiap kisah menyimpan hikmah. Setiap cerita mengandung pelajaran di baliknya. Apa pelajaran di balik kisah Coto Keera ini?
Pertama, setiap niat baik, belum tentu efek langsungnya akan baik, meski niat itu sudah tercatat sebagai pahala. Niat rusak hanya karena salah menggunakan nama. Hasil dari niat baik sangat ditentukan cara merealisasikan niat itu. Dalam merealisasikan pekerjaan diperlukan perbandingan, kecermatan, ketenangan dan evaluasi.
Andai pemuda tidak itu tidak salah menggunakan nama dan membandingkan antara coto Makassar dengan Coto Keera, maka akan ditemukan selaksa pertimbangan, apa kelebihan Makassar dan apa kekurangan Keera. Dalam membandingkan harus cermat, jangan grasa-grusu sehingga akan mencermati seluruh detil penamaan. Pun demikian harus tenang buka semata-mata nafsu memperkenalkan kampung semata. Sehari atau dua hari setelah itu, mesti dilakukan evaluasi, tak perlu menunggu lama sampai sebulan.
Kedua, di balik nama ada harapan dan ada sejarah. Antara sejarah dan harapan sebaiknya mendahulukan harapan. Misal, anak lahir pas petir besar, itu sejarah. Memberi nama anaknya dengan Petir atau Guntur, ada bagusnya. Namun lebih bagus jika namanya Aman, artinya ada harapan keamanan pada nama itu.
Apakah nama Keera, Batu-Batu, Pasangkayu, dll perlu diganti? Boleh, tapi kalau tidak bisa karena beberapa pertimbangan yang tak kalah penting, maka pengguna nama harus pandai menyesuaikan agar harapan dari penamaan itu tetap ada. Pemuda itu hanya salah menggunakan nama.
Ketiga, publik cenderung melihat sepintas. Apakah itu alami atau naluri? Saya menganggap itu hanya kebiasaan publik saja yang cenderung melihat dari kulit sepintas akibat salah menggunakan nama. Andai publik terbiasa melihat lebih dalam, maka tentu minimal akan bertanya, coto Keera itu seperti apa. Nasi kuning Batu-Batu itu bagaimana, dst.
Dalam kehidupan sosial pun demikian. Orang yang berpakaian syar’iy dengan mudah divonis baik. Sebaliknya, yang berpakaian serampangan juga akan dinilai serampangan. Jangan heran, poto caleg semua terlihat rapi dan baik. Padahal bisa jadi itu hanya kulit.
Saya akhiri opini ini dengan mengajak pembaca membuat coto Keera… undang pak camat ya hehe