Saya bukan seorang murabbi, muqri’, atau istilah lain dari pembimbing spiritual, sehingga melihat judul mengingat Tuhan pada tulisan ini pun akan mencerminkan hal itu. Olehnya itu, cara mengingat Tuhan akan saya sampaikan dengan narasi filosofis.
Lagi-lagi filosofis. Terinspirasi kegiatan akhir pekan yang sangat berbeda dengan kesenangan remaja kekinian, artikel ini kutulis mungkin tanpa mengingat Tuhan.
Pengertian mengingat
Mengingat Tuhan kita mulai dengan bahasan mengingat. Mengingat terkait kinerja otak, ibarat me-reply kejadian yang pernah terjadi sebelumnya, pernah terjadi, terekam lalu diputar ulang dalam ingatan.
Mengingat sesuatu berarti kita membatasi sesuatu itu dengan ingatan kita. Batasan waktu dan iamjinasi terkait subjek yang kita ingat. Misalnya, mengingat mantan, maka mantan yang kita ingat akan terbatas dengan sendirinya oleh waktu, karena proses mengingat berarti pernah kita lalui sebelumnya.
Mengingat Tuhan dengan pengertian tadi, tentu tidak tepat, karena Tuhan adalah zat, yang tak mungkin bisa dibatasi oleh sesuatu yang terbatas seperti pikiran kita. (Baca: zikir lisan, hati, dan sirr)
Pengertian mengingat tadi akan mengakibatkan terjadinya benturan. Sesuatu yang tidak mungkin. Bagaimana bisa pikiran yang terbatas mereply sesuatu yang tak terbatas?
Mengingat Tuhan dalam narasi filosofis
Inilah bedanya makna mengingat dalam konteks umum dengan mengingat Tuhan sebagai objek. Mengingat Tuhan bisa dengan menyebut Nama-Nya, memohon kepada-Nya, bermusyawarah, dan pasrah kepada-Nya.
Kenapa demikian? Karena Tuhan selalu ada. Jika manusia berhasil pasrah dengan sebenarnya pasrah, maka Dia terlalu dekat, jauh lebih dekat dari kata dekat itu sendiri.
Tuhan meniupkan ruh dari Nya kepada manusia saat menyempurnakan penciptaan manusia, artinya, dalam diri manusia ada unsur ketuhanan.
Kenapa susah mengingat Tuhan?
Kita terlalu asyik dan berlama-lama dengan jasmani kita. Satu hari sedikit saja waktu untuk sang ruh, partikel yang universal, dan dasar Ilahiah., untuk sekedar menjawab panggilanNya Jika ingin melihat, serta menemukan kebenaran, ketentraman abadi, hidup kekal, kita harus melihat “diri kita.” Yang mana?. Itu berada dalam diri kita.
Narasi kepustakaan sepertinya tak cukup mewakili proses mengingat Tuhan, dan kesulitan menggambarkannya. Menjabarkan proses mengingat Tuhan selamanya tak akan ilmiah, karena pastinya subjektifitas bagi siapa yang mengalami.
Banyak filosof menggambarkan cara termudah mengingat Tuhan dengan mengibaratkan sebagai “kekasih gelap.” Sedikit kontroversial, tapi sangat membantu. Semangat membuncah demi sang kekasih, bermesraan dengan kekasihnya, bercakap penuh asyik masyuk, khusyuk, meski wujud kekasih “gelapnya” itu tak terikat ruang/tak berdimensi.
Ali Syariati pernah mengilustrasikan perjalanan spritualnya dalam rangka mengingat Tuhan. Kala muridnya bertanya;
“ya Murabbi, menurutmu, Tuhan itu di mana?”
Ali Syariati menjawab, “Perhatikan Ikan yang berenang di dasar lautan, tanyakan kepada mereka, hai ikan, tunjukanlah kepadaku, di mana air itu. Ikan tak mampu menjawab, padahal air itu telah meliputinya, keluar masuk dalam dirinya, bahkan air itu adalah kehidupannya.”
Jawaban Ali Syariati adalah ilustrasi yang mudah dipahami. Kita tak bisa menunjukan Tuhan ada di mana, padahal dia muhith telah meliputi segala yang ada. Padahal kita manusia bukan ikan!.
Manusia dengan jasmani, otot, gusi yang berdarah berdampingan dengan gigi, gerak, energi yang senantiasa bekerja. Namun kebanyakan dari manusia egois; yang berdarah, yang berkeringat, tidak merasakan sakit, tidak merasakan capek dan penat.
Perlu titik temu antara jalan cita dan jalan amal. Jalan cinta adalah ruh, dan jalan amal adalah jasmani. Bukankah bagi pencinta akan selalu mengingat kekasih yang dicintainya, meski kekasih itu “gelap.”
Pahamilah, dan jadilah pecinta, itulah cara mengingat Tuhan.