Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A, adalah salah satu sosok yang dipilih Presiden Joko Widodo. Saat pria kelahiran 4 Juli 1984 ini didaulat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru, publik banyak yang heran. Keheranan itu tak jauh dari latarbelakang nya sebagai pendiri Go-Jek yang jauh dari aroma birokrasi pendidikan.
Riwayat putra Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri ini, tercatat lebih besar dalam bidang ekonomi terutama ekonomi kreatif. Sehingga banyak prediksi pengamat dia akan menduduki Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun fakta berbicara lain.
Tidak terbayang beratnya seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru. Anggaran 420 Trilyun untuk mengelola 307.655 Sekolah, 4.504 Perguruan Tinggi, 3 juta Guru yang sebagian besar adalah PNS dengan birokrasi yang rumit, postur, strata birokrasi, keuangan Negara, administrasi, dll.
“Saya masih harus belajar banyak, rencana 100 hari saya kedepan ya duduk dan mendengar penjelasan dari seluruh jajaran di Kemendikbud dan pakar-pakar yang ahli di bidang ini (pendidikan),” kata cucu Hamid Algadri, salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia ini.
Tiga bulan ke depan jangan tunggu kebijakan baru dari alumni Brown University ini. Namun setelah itu, saya yakin kebijakan pendidikan akan dipengaruhi dua hal; pertama, latarbelakang Nadiem Makarim, dan yang kedua, visi misi Presiden Jokowi.
“Jangan ada visi misi Menteri, yang ada visi misi Presiden.” Demikian salah satu dari 7 perintah Presiden.
Sebagai seorang guru, boleh dong saya menganalisa dan beropini terkait kebijakan pendidikan ponggawa saya. Saya melihat ada hal besar yang akan berefek kepada kebijakan pendiri Gojek tersebut.
Tahun 2011 Nadiem menjadi Co-Founder d Zalora Indonesia lalu keluar dan memilih membangun startup sendiri. Lahirlah Gojek. Tahun 2013, dia menjadi inovator Kartuku, sebuah sistem layanan pembayaran non-tunai di Indonesia. Kartuku inilah menjadi cikal bakal GoPay. Gojek dan Gopay dengan 20 layanan ini berhasil mempekerjakan ratusan ribu bahkan jutaan orang di Indonesia.
Dari latarbelakang inilah dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe sosok 100 orang terkaya di Indonesia ini adalah inovatif. Dia suka berinovasi untuk menggapai yang lebih besar dari sebelumnya. Memilih keluar dari Zalora dengan penghasilan tidak sedikit bukan hal mudah, tapi inovasi yang menghasilkan Gojek dan Gopay membuatnya lebih besar.
Tanggal 20 Oktober 2019, saat Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai presiden dan wakil presiden untuk lima tahun ke depan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, ada hal menarik dari pidato kepresidenan pertamanya untuk periode kedua jabatannya.
“Jangan lagi kerja kita berorientasi proses, tapi harus berorientasi pada hasil-hasil yang nyata”.
Kalimat itu tidak hanya disebutkan satu kali, Jokowi mengulang dan menegaskan “sekali lagi, yang utama itu bukan prosesnya, yang utama itu hasilnya”.
Latarbelakang inovatif dipadu dengan keinginan Presiden, maka sudah bisa ditebak, kebijakan besar Menteri pendidikan dan Kebudayaan ini akan berbanding terbalik dari kebijakan menteri sebelumnya. Misalnya saja dalam kebijakan terkait kurikulum 2013 yang berlaku sekarang ini.
Indikator rumusan kurikulum 2013 yang berlandaskan dari filosofi kurikulum 2013, berlandaskan proses. Artinya, sejak merencanakan sampai proses penilaian, proses itu haru dibuktikan. Pembuktian proses adalah bukti pelaksanaan. Akhirnya, banyak kegiatan pendidikan terjebak dengan laporan proses, karena laporan itulah yang menjadi bukti pelaksanaan.
Bagaimana jika pembuktian pelaksanaan berdasarkan dari hasil? Wah, ini pasti sebuah kebijakan yang memiliki dampak positif luar biasa meski tidak mudah. Apalagi jika hasil yang dimaksud berwujud karya nyata yang bisa dijabarkan secara ilmiah.
Kebijakan baru itu seperti kurikulum diganti? Kemungkinan besar! dan Guru tentu harus siap dengan hal itu.