Pernah tidak Anda berpikir tentang hidup ini, tentang apa yang kita lakukan, terus menerus berputar bagai siklus tak berujung. Diamlah sejenak dan lakukan!
Senin masuk kantor, selasa, rabu sampai ahad, lalu istirahat. Senin kembali lagi. Dalam sela ada hal menggembirakan. Yah, mungkin ada gaji, ada bonus dari kerja kita. Uang gaji itu lalu habis. Kita mulai lagi mencari dan bekerja, senin, selasa, rabu dan seterusnya.
Pagi ke malam, tidur menyambut esok, lusa, satu pekan, bulan, lalu merayakan pergantian tahun. Besoknya pagi lagi. Dalam sela ada duka. Tiba-tiba sakit, berobat, sembuh, sehat lagi, dan memulai lagi dari pagi. Sampai kini usia kita sudah berapa? 16, 17, 57, 61 tahun. Lalu mati.
Beddu bekerja siang malam, berangkat pagi pulang malam. Sebulan dia mendapatkan 1 Milyar. Anak istrinya senang dengan gaji itu. Beddu akhirnya jarang bersama keluarganya. Anak isterinya yang tidak bekerja ternyata lebih bahagia dibanding dirinya.
Beddummusu bekerja sebagai pa barsanji. Gajinya tidak tentu. Maksimal dapat sejuta. Di rumah isteri dan anak kerap menahan lapar. Terpaksa. Beddummusu bahagia dengan pekerjaannya, namun tidak dengan isteri dan anaknya.
Betapa banyak cerita manusia di dunia ini. Bervariasi dan beragam. Bahagia dan tidak bahagia tergantung interpretasi masing-masing. Lalu buat apa? Saya ingin bahagia. Apakah dengan memikirkan ini kamu anggap saya tidak bahagia? Atau bahagia jika dalam sakumu ada uang untuk segala kebutuhanmu? Tidak ferguso!
Saya akan menabung, bekerja mencari penghasilan dari perputaran hari dan waktu. Tunggu! Itu tidak dijamin. Tabungan Anda belum tentu sampai ke anak keturunanmu. Iya tapi setidaknya saya berusaha. Oke, berusaha dari senin, pagi, esok, lusa dan mati.
Lalu buat apa kita melakukan semua itu, kalau sebenarnya yang ada hanya perputaran kosong. Yang bekerja di hari senin dan kamis belum tentu lebih bahagia dibanding yang hanya tidur di hari yang sama. Yang mendapatkan uang satu juta belum tentu lebih bahagia dibanding yang mendapakan uang 1 Milyar.
Oke sampai di sini, jika Anda pernah berpikir seperti itu, sampai pada puncak buat apa? toh semua kosong, yang ada hanya perputaran tiada henti, maka Anda sedang berada dalam filsafat Nihilisme. Aliran filsafat yang menganggap bahwa pada dasarnya yang kita lakukan di dunia ini mengisi kekosongan saja. Semua nihil, manusia hanya berputar-putar pada ke-nihil-an itu.
Nihilisme melahirkan manusia yang kosong dari orientasi tujuan. Semua yang ada dan dilakukan manusia pada ddasarnya tidak memiliki tujuan yang jelas. Semua kosong
Para penganut filsafat nihilisme tidak percaya dengan agama. Mereka tidak percaya dengan surga dan neraka, apalagi Tuhan karena tidak empirik. Ngapain ibadah kalau surga dan neraka saja tidak jelas, ada atau tidak. Mereka hanya tahu bahwa kita berputar dalam kekosongan. Ah sudahlah, toh semua itu kosong dan mati.
Filsafat itu adalah cara berpikir. Filsafat nihilisme adalah cara berpikir nihilis. Salah satu alasan kenapa agama itu ada karena nihilisme ini. Agama lahir ternyata secara natural menjawab nihilisme. Terkadang sesuatu terbantahkan dengan akal, dan kadang pula terbantahkan karena rasa. Agama lahir untuk menjawab bantahan akal dan rasa.
Misalnya dalam filsafat empirisme, sesuatu yang dikatakan ada jika dia empirik, atau bisa dijangkau dengan indera. Sesuatu yang tidak dapat dijangkau dengan indera, maka dianggap tidak ada atau hanya ilusi. Surga dan neraka akan dianggap tidak ada karena tidak bisa dibuktikan secara empiris. Demikian pendapat banyak aliran filosof termasuk penganut nihilisme.
Sebenarnya menjawab hal ini sangat mudah, cukup dengan mempertanyakan siapa dari mereka yang pernah menjangkau akalnya dengan indera. Kalau tidak bisa apakah itu berarti mereka tidak punya akal?
Secara empirikal, surga, neraka, dan janji Tuhan dalam agama memang ditolak. Namun, bukan berarti tidak ada, karena tak semua yang ada mesti empiris. Adanya surga, neraka, dan janji Tuhan itulah yang akan menjawab kekosongan hasil filsafat nihilisme.
Mari kita kembali merenung seperti renungan sebelumnya dengan cara orang beragama;
Senin masuk kantor, selasa, rabu sampai ahad, lalu istirahat. Senin kembali lagi. Dalam sela ada hal menggembirakan. Yah, mungkin ada gaji, ada bonus dari kerja kita. Uang gaji itu lalu habis. Kita mulai lagi mencari dan bekerja, senin, selasa, rabu dan seterusnya.
Pagi ke malam, tidur menyambut esok, lusa, satu pekan, bulan, lalu merayakan pergantian tahun. Besoknya pagi lagi. Dalam sela ada duka. Tiba-tiba sakit, berobat, sembuh, sehat lagi, dan memulai lagi dari pagi. Sampai kini usia kita sudah berapa? 16, 17, 57, 61 tahun. Lalu mati.
Tapi itu tidak selesai dalam renungan orang beragama. Apa yang dilakukan dari senin sampai senin kembali diawasi oleh malaikat, digoda oleh iblis dan dimintai pertanggungjawaban. Jadi bukan sekedar perputaran kosong dan mati. Bahkan setelah mati pun, masih ada kehidupan selanjutnya melalu perhitungan amal dan maksiat.
Akhirnya, semua renungan dari pikiran akan kekosongan terjawab dengan sempurna. Bahwa semua yang kita lakukan tidan berhenti pada tujuan dunia, tapi tujuan akhir, yaitu pertanggungjawaban di depan Tuhan. Entah itu bahagia atau tidak!
Jika dalam keseharian Anda tidak menjadikan tujuan akhir kepada Tuhan, maka waspadalah akan nihilisme yang mungkin tidak kita sadari.