Gubrakk!…
Kepala sekolah masuk ke ruangan guru dengan sedikit menendang pintu. Terlihat rona kekesalan pada wajah yang usianya setengah abad.
“Saya malu!” Ujarnya sambil menghempaskan pantatnya di sofa ruang guru.
“Lima tahun anak-anak kita selalu juara Cipta Karya. Saya yang tangani langsung. Tapi kenapa kali ini gagal?!”
Tak ada yang berani bersuara. Semua diam membisu. Istrinya yang kebetulan guru PKn, biasanya membantah, namum kali ini ikut larut tanpa suara, tertunduk sambil memainkan ujung jari kukunya.
Saya sebenarnya tahu jawabannya, dan yakin bahwa jawaban itulah menjadi sebab siswa kalah sehingga membuat dia marah.
Kurang sehari sebulan lalu, saat kepanitiaan persiapan menghadapi lomba 17-an dibentuk, ada dilema bagi guru-guru dalam melatih siswa dalam setiap lomba. Ya, akibat pandemi covid 19, tatap muka secara daring serasa menjadi keharusan. Sialnya, banyak guru yang belum mengenal beberapa karakter media dan teknologi, bahkan tak sanggup menggunakannya.
Kebetulan saya bersama kepala sekolah melatih siswa yang mengikuti lomba debat online dan cipta karya online antar SMP.
Singkat cerita, saya membuat group Whatsapp yang anggotanya terdiri dari, saya, kepala sekolah dan seluruh siswa calon peserta.
Namanya anak usia menjelang baligh yang sedang mencari jati diri, hari pertama, group riuh. Ada saja tingkah para siswa. Kirim gambar, saling ejek sticker, macam-macam. Kepala sekolah berang. Group dikunci, hanya admin yang bisa mengirim pesan.
Sudah tidak bertatap muka secara langsung, alur belajar juga searah. Proses latihan menjadi vakum. Siswa tentu tak bisa bertanya, tak bisa menanggap, dan tak bisa melihat karya temanya yang lain.
Sepertinya, kepala sekolah belum mampu memahami hal ini, meski beberapa kali sebagai anak buah, saya sarankan agar gorup tidak dikunci.
Hari H tiba. Para siswa tampil seadanya. Akhirnya gelar juara bertahan tidak bisa dipertahankan.
***
Hampir semua group media sosial memiliki fitur “hanya admin, moderator yang bisa mengirim pesan”, dengan istilah berbeda.
Dalam pembelajaran daring group platform media sosial yang terkunci, tentu meniscayakan pembelajaran satu arah. Transfer pengetahuan dari guru ke siswa berjalan satu arah. Tak ada feedback, tak ada ruang interaksi, dan sifatnya monoton.
Pembelajaran satu arah tidak semua buruk. Dalam mata pelajaran atau ilmu tertentu justru yang terbaik adalah pembelajaran satu arah. Jika ada interaksi, hasilnya akan malah tidak seperti yang diharapkan.
Seorang anak ketika dibimbing bertauhid akan jadi ribet jika terjadi interaksi.
“Pah, Tuhan di mana sih?”
Kisah perjalanan Musa as dan Khidir as yang terekam dalam al-Quran surah al-Kahfi menggambarkan bahwa pembelajaran satu arah bisa dianggap penting.
“Kamu boleh ikut bersamaku, dengan syarat jangan bertanya!” Kata Khidir as kepada Musa yang ingin ikut (sambil belajar) bersamanya.
Musa as meng-iya-kan.
Dalam perjalanan, Khidir as membocorkan kapal hingga tenggelam. Musa as protes dan bertanya. Dalam perjalanan mereka juga bertemu dengan seorang anak, lalu Khidir as membunuh anak itu. Musa as protes. “Kenapa kamu membunuhnya. Dia kan anak yang masih suci?” tanya musa as.
“Sudah saya bilang, kamu tak bisa bersamaku. Kamu bertanya”. Kata Khidir as.
Sampai pada kisah di mana Khidir as menegakkan dinding yang hampir roboh. Padahal mereka bisa meminta imbalan dari hal itu.
Tiga kejadian yang membuktikan ada feedback dari Musa as ke Khidir as. Sebelum akhirnya Musa menerima penjelasan dari rasa penasarannya.
Tersirat bahwa Khidir as ingin mengajarkan sesuatu dengan metode satu arah. Walhasil, hanya orang sabar yang bisa menempuh metode itu.
“Sudah, kamu pahami saja, jangan banyak tanya!” kira-kira begitu maksud Khidir as. Kalimat yang mirip dengan group yang terkunci, “hanya admin yan bisa mengirim pesan. Kalian terima saja.”