Pendidikan Akhlak di Tangan Nadiem Makarim. Tak cukup sebulan, muncul ratusan artikel terkait sosok Nadiem Makarim yang baru berusia 35 tahun saat diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pendidikan Tinggi (Mendikbud Dikti). Diawali dengan kehebohan netizen, kehebohan dengan motif yang berbeda-beda. Ada heboh karena heran dengan prestasi Bos Gojek ini, ada juga heboh karena merasa tak dapat jatah. Itu wilayah politis dan kita tak akan bahas itu.
Dari background Nadiem Makarim, sebetulnya tak susah menebak arah kebijakannya dalam mengendalikan kementerian dengan APBN 20% ini. Ditopang dengan kalimat-kalimat petuah Presiden kepadanya. Yah, apalagi kalau bukan pendidikan digital, digitalisasi pendidikan, transformasi pengetahuan melalui digital, atau istilah sejenis. Saya kira tak jauh dari sana, dan yang terpenting guru harus siap untuk itu.
Kalau ini betul terjadi, para guru yang gaptek terpaksa harus gigit jari, hanyut, atau berusaha berbenah diri dengan cepat. Tak bisa dipungkiri, fakta yang didukung dengan kondisi, jangankan digitalisasi pengetahuan, untuk mengoperasikan komputer saja, masih banyak guru yang tidak mampu untuk itu.
Ada yang menarik terlepas dari bayangan digitalisasi pendidikan tadi. Amanah konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 (3) menyebutkan bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Merunut lebih jauh, dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 dan Undang-undang Perguruan Tinggi Nomor 12 tahun 2012 juga menyebutkan hal itu. Demikian pula dalam Kurikulum 2013. yang menempatkan Kompetensi spiritual nomor satu dibanding kompetensi lainnya.
Belum sehari dilantik, banyak tulisan humor terkait orang nomor satu Gojek ini, nyentrik dan terkait pendidikan;
Guru: “Sekarang kita belajar apa anak-anak?”
Siswa: “Sesuai aplikasi pak!”
Kalimat gurauan yang mungkin hanya sekedar candaan. Tapi jika melihat lebih jauh, tersirat bayangan dalam pemikiran penulis gurauan itu, bahwa proses pembelajaran akan bergeser ke arah daring (dalam jaringan). Apa itu salah? Sama sekali tidak! Tapi kelemahan utama pembelajaran berbasis digital, daring, dan sejenisnya, itu tidak melibatkan guru sebagai sosok langsung di hadapan siswa. Mau tak mau akan menghilangkan ruhul mudarris, ruh dari seorang guru.
Dengan internet, apa saja bisa ditemukan siswa di sekolah. Pembelajaran daring cukup dengan googling, browsing, maka ratusan artikel, bahan, materi pelajaran dengan kata kunci sesuai keinginan mereka dari aneka ragam penulis akan mereka temukan, dan semua itu hampir tak terbatas. Semua ada di internet, dan kemampuan pengetahuan guru tidak akan mampu mengalahkan hal itu.
Saya pernah belajar singkat satu aplikasi ringan. Sebulan, tanpa perantara sosok guru (manusia). Saya cukup login, dan di dalam jaringan aplikasi itu sudah siap materi pelajaran buat siswa dalam hal ini saya. Lengkap plus materi latihan yang langsung menegur, memandu setiap saya mengikuti materi itu. Saya berpikir, andai di bangku sekolah, pasti materi ini akan dikemas menjadi 2 atau 3 semester. Tapi di sana singkat sekali.
Lalu, perlukah menghilangkan sosok guru dan menggantinya dengan pembelajaran daring? Buatkan saja aplikasi yang siswa bisa masuk dan belajar di dalamnya. Siswa cukup login, di dalamnya sudah ada materi matematika, IPS, IPA, dan mata pelajaran lain, dst. Waktu akan efektif, pengetahuan siswa akan melompat cepat, pesat tanpa skat dengan transformasi pengetahuan tanpa batas
Tapi tunggu! Ada yang hilang. Transfer akhlak! Guru adalah manusia. Pekerjaan manusia bisa saja diganti dengan robot, tapi perasaan manusia, rasa cinta, sayang tidak bisa diganti kecuali dengan sosok manusia sendiri. Makanya saat guru mengajar, berhadapan dengan manusia dengan rasa nya, di situ ada transfer yang bukan sekedar pengetahuan. Akhlak, cinta, dll, dan internet, aplikasi tidak mampu untuk itu.
Kita butuh percepatan pendidikan dan pengetahuan yang link and match dengan kebutuhan kerja, tapi kita jangan sampai lupa dengan amanat Undang-Undang. Kalau dalam Islam dikenal dengan ungkapan “Innamaa Bu’itstu li utammima Makarim al-Akhlak.” Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan Akhlak manusia. Sabda Nabi saw.
Hadis ini kok menyebut nama pak Menteri sih? Tuh ada kata Makarim! Ini hanya kebetulan, tapi yang suka cocoklogi, suka menghubung-hubungkan, itu bisa saja, karena kita berharap banyak kepada beliau terkait pendidikan akhlak di negeri ini.